Masalah Putus Obat dan Kepatuhan dalam Penanganan Pasien TB
Dari ‘Global Tuberculosis Report’ 2015 dilaporkan bahwa pada tahun 2014, TB membunuh 1,5juta orang di seluruh dunia (1,1 jutapada HIV-negatif dan 0,4 jutapada HIV-positif). Mereka terdiridari 890.000 pria, 480.000 wanita, dan 140.000 anak-anak. Pada tahun 2014, 9,6 juta orang mengalami TB.Angka angka diatas menunjukkan bahwa Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat secara global.
Pada tahun 1990-an WHO menerapkan program DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Program DOTS mulai diberlakukan di Indonesia pada tahun 1995 dan secara serentak di seluruh fasilitas kesehatan pada tahun 2000. Salah satu dari 5 komponen kunci dari DOTS adalah pengobatan yang standar, dengan supervise dan dukungan bagi pasien. Melalui strategi ini, untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat dilakukan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).3
Dengan berbagai strategi yang dilakukan secara global dan nasional, kasus putus obat masih tetap terjadi.Kasus putus obat (default/drop out)didefinisikan sebagai berhentinya pengobatan TB selama ≥ 2 bulan berturut-turut sebelum masa pengobatannya selesai. Putus obat merupakan masalah yang serius pada pengendalian TB.Pasien yang putus obat memiliki risiko kambuh/rekurensi TB yang lebih tinggi serta meningkatkan risiko kematian akibat TB.Pasien putus obat juga menjadi masalah secara kesehataan masyarakat karena dapat menularkan infeksi kepada orang lain dan dapat menyebabkan kuman TB resisten terhadap obat anti TB(OAT).
Penelitian mengenai faktor-faktor yang menyebabkan putus obat dilakukan di banyak wilayah dan memberikan hasil yang berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing regional.Secara umum, faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan pasien adalah faktor individu (penyalah gunaan obat, jenis kelamin pria, adanya penyakit komorbid lain, HIV positif, status sosio ekonomi yang rendah, pengetahuan TB kurang, efeksamping OAT), faktor fasilitas kesehatan (akses ke sarana kesehatan sulit, perlakuan pekerja medis), faktor sosial (stigma masyarakat).5-7
Di Bandung, Rutherford et al(2013) mengikuti 249 pasien TB baru dan mendapatkan39 pasien (16%) putusobat.Sebagian besar kasus putus obat terjadi pada fase intensif. Faktor-faktor yang berkaitan dengan putus obat adalah kondisi rumahtangga, kurangnya dukungan sosial, dan faktor sarana kesehatan.Intervensi dapat dilakukan sebagai upaya untuk mencegah pasien putus obat dengan cara: meningkatkan pelayanan klinis, memberikan dukungan social bagi pasien TB melalui program-program komunitas maupun kunjungan rumah, meningkatkan komunikasi antara penyedia layanan TB baik pemerintah maupun swasta, meningkatkan edukasi pasien, serta meningkatkan cakupan asuransi kesehatan bagi orang miskin.8
Penelitian di Nusa Tenggara Timur oleh Putera et al (2015) melaporkan dari total 300 pasien TB yang diikuti pengobatannya, terdapat 45 pasien (15%) putus obat. Karakteristik pasien dan faktor sosio-demografi pasien tidak signifikan berpengaruh terhadap kepatuhan pasien, sedangkan tingkat pengetahuan dan pemahaman pasien tentang TB menjadifaktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan pasien.
ii
Pemberi layanan kesehatan sebaiknya mampu mengenali pasien TB yang memiliki kecenderungan putus obat melalui pertanyaan mengenai pengetahuan pasien tentang TB dan persepsi pasien tentang penyakitnya.Edukasi pasien dan konseling menjadi sarana untuk meningkatkan kepatuhan pasien berobat.9
Studi di Yogjakarta oleh Rintiswatiet al (2009) memaparkan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pasien TB untuk berobat.Jenis kelamin, lokasi tempat tinggal, dan tingkat pendidikan tidak berpengaruh, sedangkan pendapatan dan nasehat dari keluarga dan kerabat yang berpengaruh terhadap perilaku pasien untuk mencari pengobatan. Stigma masyarakat masih berpengaruh tetapi tidak memiliki peran yang besar pada pasien untuk berobat. Upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan ketersediaan layanan TB yang berkualitas diupayakan untuk mencapai diagnosis dan pengobatan TB sejak dini.10
Karena banyak faktor yang berperan dalam terjadinya putus obat, maka kerjasama dan sinergi dari berbagai pihak perlu dilakukan untuk mengintervensi/mengatasi faktor-faktor tersebut. Program TB secara global maupun nasional harus dilaksanakan dengan baik.Penanganan pasien TB secara holistic mencakup edukasi untuk memberikan persepsi yang benar tentang penyakit dan pengobatan TB.Menekan jumlah pasien putus obat, melalui dukungan dari pemerintah, penyedia layanan kesehatan, komunitas, keluarga perlu dilakukan bersama untuk mencapai visi End TB Strategyyaitu mengakhiri epidemi TB secara global di tahun 2035
Zulkifli Amin