• Kemampuan Diagnostik Pemeriksaan Xpert MTB/RIF® dengan Acuan Kultur Media Cair pada Pasien HIV
    Vol 2 No 3 (2015)

    Nur I Afriliyantina1, Anna Uyainah2, Evy Yunihastuti3, Anis Karuniawati4, Cleopas M Rumende2
    1Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
    2Divisi Pulmonologi dan Perawatan Penyakit Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM 3Divisi Alegi dan Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
    4Departemen Mikrobiologi FKUI/RSCM

     

    ABSTRACT
    Background: Tuberculosis is one of the most common presenting illness and the leading cause of death among people living with HIV. The clinical features of pulmonary tuberculosis in HIV-infected patients are not typical. The accurate diagnosis of pulmonary tuberculosis in HIV-infected patient remains a clinical challenge. Xpert MTB/RIF® is a new molecular modality for rapid diagnostic of tuberculosis. However, performance-related data from HIV-infected patients are still limited.
    Objective: To determine the accuracy of Xpert MTB/RIF® in diagnosing pulmonary tuberculosis in HIV-infected patients from sputum sample.
    Methods: This is a cross-sectional study performed in HIV-infected patients who were suspected of having pulmonary tuberculosis during October 2012 to April 2013 in Cipto Mangunkusumo Hospital. We investigated the diagnostic accuracy of Xpert MTB/RIF® compared to liquid media culture from sputum sample
    Results: A total of 66 patients were suspected of having pulmonary tuberculosis and 43 patients were confirmed by culture examinations. Most of the patients were 25 - 35 years olds (58%), male (73%), have a low BMI (53%) and low CD4+ (56%). Most of HIV-infected patients were intravenous drugs user (62%). The sensitivity and specificity of Xpert MTB/RIF® were 93.0% (95% CI, 87.0% to 99.0%) and 91.3% (95% CI, 84.5% to 98.1%). The positive and negative predictive values were 95.2% (95% CI, 90.1% to 100%) and 87.5% (95% CI, 79.5% to 95.5%). Positive and negative likelihood ratios were 10.7 and 0.08.
    Conclusion: Xpert MTB/RIF® has a good performance in diagnosing pulmonary tuberculosis in HIV-infected patients.
    Key words: Tuberculosis, Xpert MTB/RIF®, HIV.,

  • Uji Validasi Sistem Skor MSOFA dan Kadar Magnesium Total sebagai Prediktor Mortalitas pada Pasien Penyakit Kritis
    Vol 2 No 3 (2015)

    Anggraini Permatasari1, Ceva W Pitoyo2, Dita Aditianingsih3, Cleopas M Rumende 2
    1Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
    2Divisi Pulmonologi dan Perawatan Penyakit Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM 3Departemen Anestesi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM

     

    ABSTRACT
    Background: Critically ill patients are increasing in number with high mortality rates. Prediction model with a good performance is needed to predict their mortalities. Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA) is one of the scoring systems which can predict 28 days mortality. It has shown many good results abroad, however it still need to be validated in Indonesia. In order to improve its performance, total serum magnesium is considered too be use as an added variable.
    Objective: To evaluate the performance of MSOFA and the value of added magnesium level as predictor of mortality in critically ill patient.
    Methods: This is a prospective cohort study. Medical data which consist of physical examination, Glasgow Coma Scale, peripheral oxygen saturation measurement, creatinine and magnesium serum level were obtained from subjects who were admitted to Intensive Care Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital during April to July 2013. Subjects were assessed for outcome after 28 days of admission. Calibration performance was evaluated with calibration plot and Hosmer-Lemeshow test. Discrimination value was measured with area under the curve (AUC). Performance of MSOFA and magnesium value were appraised with ROC curve.
    Results: A total of 150 critically ill patients was submitted for this study with 33,3% mortality rate. Calibration plot of MSOFA showed r = 0,7 and Hosmer-Lemeshow test showed p = 0,08. Discrimination value was shown by ROC curve with AUC 0,83 (CI 95% 0,76-0,90). With a cut-off value of 1,85 mEq/L, magnesium has shown optimal sensitivity and specificity, 38% and 48% respectively. However, AUC curve do not change after magnesium variable was added. Conclusion: MSOFA has shown a good calibration and discrimination performance in Indonesian people. Magnesium blood level has no added value to MSOFA for predicting mortality in critically ill patients.
    Key words: Validation, Modified Sequential Organ Failure Assessment, total serum magnesium, mortality predictior, critically ill patients.

  • Peran Intervensi Bedah dalam Tata Laksana Tuberkulosis Paru Resisten Obat
    Vol 2 No 3 (2015)

    Ridho Adriansyah1, Gurmeet Singh2, Zulkifli Amin2, Anna Uyainah2
    1Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
    2Divisi Pulmonologi dan Perawatan Penyakit Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM

     

    PENDAHULUAN
    Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular melalui droplet udara yang disebabkan Mycobacterium Tuberculosis. Meskipun tingkat penularan TB relatif rendah dibandingkan dengan penyakit menular lainnya dan pengobatan yang efektif telah ditemukan sejak lima dekade lalu, TB masih menjadi masalah kesehatan global yang sulit diatasi. Tidak kurang dari sepertiga populasi dunia terinfeksi TB. Setiap tahun ditemukan sembilan juta kasus baru dan hampir dua juta penderita dilaporkan meninggal dunia. Insidens penularan infeksi HIV ikut berkontribusi terhadap meningkatnya epidemiologi TB secara global, khususnya di Afrika dan Asia. Peningkatan prevalensi tersebut juga diikuti peningkatan resistensi terhadap obat antituberkulosis (OAT). Ada tiga jenis resistensi yang dikenal dengan nama multidrug-resistant (MDR), extensively drug- resistant (XDR), dan total drug-resistant (TDR). Banyaknya jumlah kasus resistensi mencerminkan kegagalan program-program kesehatan yang sudah dijalankan selama ini.1
    Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di Asia Tenggara pun tidak luput dari masalah- masalah di atas. Indonesia menduduki peringkat ke-4 negara dengan kasus TB terbanyak setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Prevalensi TB di Indonesia cenderung stabil dari tahun ke tahun dengan angka prevalensi yang masih cukup tinggi, yaitu 261 per 100.000 penduduk. Persentase MDR TB saat ini sekitar 1,9 % dari semua kasus TB.2
    Sejak tahun 1994, kasus MDR telah banyak dilaporkan oleh 114 negara. Dengan pelaporan dan pelaksanaan program tata laksana MDR TB yang intensif, diharapkan angka insidens MDR TB dapat ditekan. Kesulitan utama dalam tata laksana TB resisten obat baik MDR atau XDR adalah kualitas pemeriksaan sputum. Kualitas pemeriksaan yang baik merupakan salah satu indikasi program tata laksana nasional MDR TB berjalan dengan baik. Hal tersebut dijalankan dengan baik oleh negara-negara yang rutin mengirimkan hasil pemantauan nasionalnya

  • Obstruksi Saluran Napas pada Non Small Carcinoma
    Vol 2 No 3 (2015)

    Borries Foresto1, Eric D Tenda2, Cleopas M Rumende3
    1Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
    2Divisi Respirologi dan Perawatan Penyakit Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM 3Divisi Alegi dan Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
    ABSTRACT
    Upper airway obstruction is an emergency condition that needs to be addressed immediately in order to prevent the consequent irreversible complication. The etiology of obstruction may vary depending on the patient’s age and clinical manifestation. Diagnosis and therapy must simultaneously be attempted in order to optimize patient’s clinical outcome. One of the most effective treatment modality is airway stenting. In this case, a 56-years old male came to Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta with chief complaint of worsening dyspnea after receiving chemotheraphy for non-small cell carcinoma. Physical examination showed tachypnea, inspiratory stridor, and wheezing. Bronchoscopy revealed stricture with intermitten obstruction. Fiberoptic bronchoscopy found stenosis at a distance of 5 cm from vocal cords with severe obstruction (75%)

  • Peran Prokalsitonin dalam Bidang Pulmonologi
    Vol 2 No 3 (2015)

    Hendra Koncoro1, Ida B Suta2
    1Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
    2Divisi Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

     

    Penyakit infeksi paru hingga saat ini masih merupakan penyakit yang paling sering dijumpai pada manusia dan penyebab kematian terbanyak setelah penyakit jantung koroner.1 Sekitar 75% penggunaan antibiotik ditujukan untuk infeksi paru yang disebabkan oleh bakteri. Akan tetapi, sebagian besar kasus infeksi ternyata disebabkan oleh virus. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat ini merupakan penyebab utama munculnya resistensi antibiotik. Semakin maraknya kasus pemakaian antibiotik yang tidak tepat merupakan masalah yang belum teratasi hingga kini.2
    Diferensiasi penyebab infeksi paru menjadi sangat penting guna membatasi penggunaan antibiotik yang tidak bertanggung jawab. Beberapa tes laboratorium dapat mengetahui adanya infeksi seperti hitung leukosit, laju endap darah, C-reactive protein (CRP), tumor necrosis factor, dan interleukin 1 (IL-1) dan IL-6. Namun, berbagai tes tersebut bersifat tidak spesifik sehingga etiologi infeksi paru sulit sekali ditentukan dalam waktu cepat. Diagnosis pasti harus menunggu hasil kultur darah selama beberapa hari. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu penanda spesifik yang mampu mendeteksi infeksi bakteri dengan cepat.3,4
    Prokalsitonin (PCT) merupakan suatu biomarker yang lebih spesifik terhadap infeksi bakteri dan dapat dideteksi lebih awal dibandingkan gejala atau tanda infeksi lain, seperti demam, perubahan hitung leukosit, atau kultur darah. Biomarker ini terdiri dari 116 asam amino yang meningkat produksinya pada infeksi bakteri dan beberapa jenis keganasan.5,6 Tulisan ini memberikan gambaran mengenai produksi dan biologi PCT, faktor mempengaruhi kadar PCT, hubungan PCT dengn derajat keparahan infeksi, perbandingan PCT dengan biomarker lain, serta aplikasi PCT dalam kasus pulmonologi.

  • Uji Validasi Skor HOTEL sebagai Prediktor Mortalitas 24 Jam Pasien Nonbedah di IGD
    Vol 2 No 3 (2015)

    ABSTRACT
    Background: The number of visits and mortality rates of emergency patients at Emergency Department (ED) have been increasing from time to time. Those patients have a wide spectrum of conditions. Appropriate identification of patients with high mortality risk is crucial. The Hypotension, Oxygen Saturation, Low Temperature, ECG Changes, and Loss of Independence (HOTEL) score is an easy and important tool to be applied in the ED. However, the score has not been validated in Indonesia.
    Objective: To evaluate the performance of HOTEL score in predicting the 24-hour mortality of nonsurgical patients in ED of Cipto Mangunkusumo hospital.
    Methods: The design is a prospective cohort study. The research subjects were the nonsurgical patients who were admitted to ED of Cipto Mangunkusumo hospital between October-November 2012. We collected systolic blood pressure, peripheral oxygen saturation, body temperature, ECG changes, and loss of independence data. Those data were evaluated based on the HOTEL scoring system. The outcome were evaluated in 24-hour after admission (alive or dead). The calibration was evaluated with the Hosmer-Lemeshow test. The discrimination performance was measured with area under the curve (AUC).
    Results: There are 815 non-surgical patients who were admitted to the ED between October until November 2012, but only 804 (98.7%) subjects were included in this study. The 24-hour mortality rate is 3.7% (30 subjects). The calibration performance with the Hosmer-Lemeshow test showed p value of 0.753. The discrimination performance is shown with the AUC score of 0.86 (95% CI 0.781; 0,93).
    Conclusion: The HOTEL score has a good calibration and discrimination performance in predicting the 24-hour mortality of the nonsurgical patients in ED of Cipto Mangunkusumo hospital.
    Key words: Validation, HOTEL score, mortality, nonsurgical patients, emergency department

  • Hubungan Perilaku Merokok dengan Gambaran Faal Paru pada Jemaah Haji
    Vol 2 No 3 (2015)

    ABSTRAK
    Latar Belakang: Banyaknya jemaah haji Indonesia memiliki kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok tersebut bisa menyebabkan gangguan faal paru. Gangguan faal paru tersebut bisa bersifat obstruktif, restriktif, dan campuran. Banyak studi sebelumnya menunjukkan hubungan kuat antara kebiasaan merokok dengan penyakit saluran napas.
    Tujuan: Mendapatkan karakteristik dan gambaran faal paru serta hubungan antara perilaku merokok dengan gambaran faal paru dari jemaah haji perokok di kelompok embarkasi Jakarta-Pondok Gede tahun 2012. Metode: Desain studi ini adalah potong-lintang pada jemaah haji yang menjalani pemeriksaan kesehatan haji di Puskesmas Kecamatan dan Embarkasi Jakarta-Pondok Gede. Penilaian perilaku merokok berdasarkan Indeks Brinkman dan penilaian gambaran faal paru berdasarkan pemeriksaan spirometri. Analisis bivariant menggunakan metode Kolmogorov Smirnov.
    Hasil: Pada studi ini, didapatkan 209 subjek jemaah haji perokok. Karakteristik jemaah haji perokok umumnya laki-laki (99,5%), usia <60 tahun (78,0%), kategori IMT overweight (63,2%), tidak disertai komorbid (68,9%), pendidikan kategori tinggi (75,1%), dan Indeks Brinkman kategori sedang (53,1%). Gambaran faal paru ditemukan kategori restriktif 51,2%, obstruktif 8,6%, campuran 8,1% dan normal 32,1%.
    Kesimpulan: Penelitian tidak menunjukkan adanya hubungan bermakna antara perilaku merokok dengan gambaran faal paru pada kelompok kategori Indeks Brinkman sedang-berat dibandingkan kelompok Indeks Brinkman ringan.
    Kata kunci: Perilaku merokok, gambaran faal paru, jemaah haji perokok.

  • Indikasi dan Kontraindikasi Ventilasi Noninvasif pada Perawatan di Rumah
    Vol 2 No 2 (2015)

    Dewasa ini penggunaan ventilasi noninvasif semakin berkembang dan membuat penderita merasa lebih nyaman. Perangkat ini menawarkan biaya perawatan yang lebih murah serta waktu perawatan yang lebih singkat dibandingkan dengan ventilasi invasif.1 Saat ini ventilasi noninvasif banyak digunakan pada pasien rawat inap dengan gagal napas akut maupun kronik pada perawatan di rumah.2


    SISTEM RESPIRASI
    Sistem pernapasan terdiri atas dua bagian, yaitu sistem pertukaran gas (paru) dan sistem ventilasi (pompa pernapasan). Masing-masing bagian dapat terganggu secara independen. Pada gagal paru, terapi oksigen umumnya cukup memadai, kecuali jika disertai dengan gangguan berat pada proses pertukaran gas. Sebaliknya, disfungsi dalam sistem ventilasi biasanya membutuhkan ventilasi mekanis

  • Penyakit Jamur Invasif pada Pasien Penyakit Kritis
    Vol 2 No 2 (2015)

    Insidens infeksi jamur, khususnya penyakit jamur invasif, di unit perawatan intensif (UPI) terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Studi Extended Prevalence of Infections in the ICU (EPIC II) menemukan, jamur berperan dalam 19,4% dari seluruh kasus infeksi di UPI.1 Sistem National Nosocomial Infections Surveillance di Amerika Serikat melaporkan peningkatan kejadian infeksi jamur dari 2,0 infeksi/1000 pasien yang dipulangkan pada tahun 1980menjadi3,8infeksi/1000pasienyangdipulangkan pada tahun 1990. Serupa dengan hal tersebut, Voss dkk. mencatat peningkatan insidens kandidemia di sebuah rumah sakit di Belanda, yaitu dari 4,7 kasus/10 000 pasien/hari pada tahun 1987 menjadi 7,4 kasus /10 000 pasien/hari pada tahun 1994. Penelitian- penelitian saat ini melaporkan bahwa jamur terlibat hingga 17% dari seluruh infeksi-infeksi nosokomial, dan 9-12% dari infeksi darah nosokomial.2
    Peningkatan infeksi jamur menggambarkan peningkatan jumlah pasien dengan sistem imunitas rendah yang membutuhkan perawatan intensif, antibiotik yang lebih banyak, perangkat bantuan hidup, dan prosedur invasif yang lebih sering. Kelompok pasien ini memiliki faktor risiko untuk infeksi jamur, termasuk pembedahan abdomen, nutrisi parental, dan kondisi imunosupresi.2
    Morbiditas dan mortalitas yang bermakna dilaporkan pada pasien UPI dengan penyakit jamur invasif. Pemberian terapi antijamur yang tepat dan cepat adalah penentu utama prognosis pasien. Meski demikian, diagnosis penyakit jamur invasif sangat sulit dilakukan pada populasi ini karena tidak adanya metode diagnostik noninvasif yang akurat.
    Selain itu, tidak terdapat rekomendasi jelas berbasis bukti mengenai waktu dan metode deeskalasi terapi antijamur. Akibatnya, terapi antijamur empiris sering kali digunakan untuk periode yang lama di UPI.
    Terapi antijamur berkepanjangan berkontribusi dalam pembengkakan biaya perawatan di rumah sakit dan dapat mendorong terjadinya resistansi antijamur.1 Walaupun Aspergillus dan Candida masih menjadi patogen paling umum, spektrum mikosis invasif berubah dengan munculnya jamur patogen oportunistik lainnya, seperti Fusarium, Zygomicetes, dan Scedosporium. Infeksi patogen baru tersebut berpotensi mengancam jiwa jika terjadi bersamaan dengan mold (aspergillosis).3

  • Penurunan Fungsi Paru Pengemudi Mikrolet di Jakarta Timur dan Karakteristik yang Menyertainya
    Vol 2 No 2 (2015)

    Background: Mortality due to air pollution reached 1,2 million deaths worldwide in 2004 and had been linked to a range of adverse health effects, including respiratory diseases. Microbus drivers are constantly exposed to air pollution and therefore at high risk of lung function deterioration.
    Objectives: To assess the magnitude of lung function deterioration and to determine both primary and secondary prevention approaches on microbus drivers.
    Methods: This is a cross sectional study among microbus drivers at Kampung Melayu station in October 2014. Data were obtained from interview, body height and weight measurement, spirometry and random capillary blood glucose test. Descriptive analysis was performed to obtain proportion of each variable and to determine the mean or median value.
    Results: A total of 101 subjects were recruited by purposive sampling. There were 69.3% microbus drivers who had been working for more than ten years, 76.2% smokers, 8.9% with history of tuberculosis, 44.6% with random capillary blood glucose >140 mg/dl and 34.7% with obesity. There were 30.7% subjects with lung function deterioration, consisting of 90.3% restrictive diseases and 9.7% obstructive diseases. Deterioration was more prominent in those who had been working for more than ten years or had history of tuberculosis.
    Conclusion: Deteriorating lung function was found in 30.7% microbus drivers at Kampung Melayu station, East Jakarta, consisting of 90,3% restrictive and 9,7% obstructive diseases. Deterioration was found mostly in subjects working for more than 10 years or having history of tuberculosis.
    Key words: Microbus drivers, lung function deterioration, air pollution

526 - 264 of 264 items << < 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 > >>