Muhammad Hafiizh Alfarrisi1, Michael2, Emir Yonas3, Raymond Pranata4 Department of Cardiology and Vascular Medicine, Faculty of Medicine Universitas Indonesia, National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta, Indonesia; Faculty of Medicine Universitas Indonesia
Faculty of Medicine, Universitas Kristen Krida Wacana Faculty of Medicine, Universitas YARSI, Jakarta, Indonesia
Faculty of Medicine, Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Indonesia
ABSTRAK
Latar belakang: Di era pentingnya tindakan reperfusi, ada beberapa pola EKG atipikal yang dapat mengancam jiwa sindrom koroner akut risiko tinggi yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah sindrom Wellens dengan karakteristik adanya abnormalitas gelombang T (gelombang T biphasic atau T dalam terbalik) pada hasil elektrokardiogram (EKG) pasien dalam episode tanpa nyeri dada. Hal ini menunjukkan stenosis pada arteri koroner proksimal anterior descending kiri (LAD) derajat tinggi yang dapat mengakibatkan infark akut pada dinding anterior miokard (AMI) jika tidak dilakukan pengobatan maupun reperfusi.
Tujuan: Untuk menyajikan kasus Wellens sindrom yang mengancam jiwa, sindrom koroner akut risiko tinggi.
Ilustrasi kasus: Seorang pria berusia 48 tahun, perokok berat, datang ke ruang gawat darurat rumah sakit National Cardiac Center Harapan Kita (NCCHK) dengan nyeri dada berulang dalam waktu 18 jam sebelum datang ke rumah sakit. Pemeriksaan EKG menunjukkan irama sinus dengan T negatif yang dalam di V2-V4, tanpa gelombang Q patologis. Pasien diduga sebagai Wellens Sindrom, sindrom koroner akut dengan risiko tinggi. Pasien kemudian dilakukan intervensi koroner perkutan dini (PCI). Ditemukan 90% sumbatan pada LAD proksimal dan berhasil di lakukan pemasangan satu stent.
Kesimpulan: Semua pasien dengan/ tanpa riwayat angina dengan EKG yang dicurigai sebagai sindrom Wellens harus menjalani terapi invasive reperfusi sesegera mungkin. Setiap pasien dengan temuan EKG khas Sindrom Wellens tidak boleh menjalani segala bentuk tes jantung lainnya untuk menegakan diagnostik lebih lanjut karena risiko terjadinya kematian jantung mendadak.
Kata kunci: Sindrom koroner akut risiko tinggi, sindrom Wellens, obstruksi arteri descending kiri
anterior; revaskularisasi, perubahan Elektrokardiografi
Desdiani Desdiani1, Asysyukriati R. Prawiro2, Dian Handayani3, Bachtiar Husain4, Chairul Nurdin Azali5, Siti Amanda6
lUniversity of Sultan Ageng Tirtayasa Serang Banten Indonesia
2University of Pembangunan Nasional Veteran
3University of North Sumatra 4Firdaus Hospital 5University of North Sumatra 6University of Trisakti
ABSTRACT
Bronchiectasis is an abnormal, chronic enlargement of the bronchi and associated with a clinical syndrome of cough, sputum production and respiratory infections. Bronchiectasis may appear in association with pulmonary tuberculosis. A 69 years old woman who had recurrent cough since 3 years ago and treated with the diagnosis of allergic bronchitis. Since 5 months ago she had complained cough and shortness of breath. She was admitted to Intensive Care Unit with reduced consciousness and used ventilator for almost a month, had chronic hypercapnea and no response with antibiotic therapy and inhalation. After two weeks, she had improved by tuberculosis treatment and macrolid antibiotics even though pCO2 levels were difficult to decreased.
Keywords: Bronchiectasis, HRCT, Hypercapnea, Tuberculosis,
Herikurniawan
Respirology and Critical Illness Division, Internal Medicine Department
Faculty of Medicine Indonesia University, Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta, Indonesia
ABSTRACT
Patient safety is an effort conducted to prevent and overcome unexpected problems occurring in the hospital. Patient safety in health care organization is the most important goal that needs to be achieved and monitored in regular basis. The International Patient Safety Goals (IPSG) are important guidelines at the international level to promote specific improvements in the process of providing safe and high quality patient care. The patient safety standard which is stated in IPSG is consist of 6 elements: (1) patient identification correctly; (2) increasing communication effectively;
(3) increasing the safety of the high-alert medication; (4) certainty of accurate location, procedure accuracy, and patient-surgery accuracy; (5) reducing the risk of infection related to health service, and (6) reducing the risk of patient harm resulting from falls.
Keywords patient safety, international patient safety goals, patient safety standard
Jefman Efendi Marzuki HY1,2, Nafrialdi3, Purwantyastuti Ascobat3 1Program Pendidikan Dokter Spesialis Farmakologi Klinik, FK UI, Jakarta 2Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Surabaya, Surabaya 3Departemen Farmakologi dan Terapeutik, FK UI, Jakarta
ABSTRAK
Delamanid adalah antituberkulosis baru yang dikembangkan untuk mengobati (Tuberkulosis resisten obat)TB-RO. Dalam proses pengembangan delamanid, selain aspek efikasi, aspek keamanan menjadi perhatian khusus terkait potensi efeknya terhadap jantung berupa pemanjangan interval QT. Namun, data pendukung yang diperoleh masih dalam skala kecil dan belum lengkap. Data keamanan lainnya dibutuhkan dalam rangka pengobatan TB-RO. Sehingga, monitoring aktif dibutuhkan untuk meningkatkan pelayanan dan keamanan pasien.
Kata Kunci: Delamanid, monitoring keamanan, jantung, interval QT, patient safety
I Wayan Hero Wantara1, Ceva Wicaksono Pitoyo1, Andhika Rachman2, Cleopas Martin Rumende1
1Respirology and Critcal Illness Division, Internal Medicine Departement, Faculty of Medicine Indonesia University, Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Indonesia.
2Medical Hematology-Onkology Division, Internal Medicine Departement, Faculty of Medicine Indonesia University, Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Indonesia.
Introduction: Lung cancer patients often experience pneumonia. This is due to the decrease in body endurance of the patients. Pneumonia complicates treatment, worsens the quality of life, reduces survival, and is often a direct cause of death for lung cancer patients. Dealing with pneumonia in non- small cell lung cancer (NSCLC) patients with continuous antimicrobials treatment without regard to culture sensitivity will cause resistance of germs that cause pneumonia.
Objectives: This study aims to study the characteristics of NSCLC patients, the pattern of germs that cause pneumonia in NSCLC patients, and to compare the survival of NSCLC patients suffering from pneumonia caused by MDR (multidrug resistance) bacteria with those caused by non-MDR bacteria.
Methods: This study was a retrospective cohort with research subjects was NSCLC patients with pneumonia caused by MDR and non-MDR bacteria who were treated at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2013 to December 2017. Analysis was performed with multivariate cox regression analysis.
Results: The results 32 subjects were infected only from MDR bacteria, 14 subjects infected by both MDR and non MDR bacteria, and 23 subjects were infected by only non-MDR bacteria. The most non-MDR bacteria that cause pneumonia in NSCLC patients was Klebsiella pneumoniae as much as 37,3%, while the most MDR bacteria that cause pneumonia in NSCLC patients was Acinetobacter baumannii as much as 23,2%. Median survival of NSCLC patients with pneumonia caused by MDR bacteria was 57 days (43,707-70,293) while those by non-MDR bacteria was 92 days (58,772-125,228).
Conclusions: The survival of NSCLC patients with pneumonia caused by MDR bacteria is shorter than that caused by non-MDR bacteria.
Key words: MDR, NSCLC, Pneumonia, Survival
Herikurniawan
Respirology and Critical Illness Division, Internal Medicine Department
Faculty of Medicine Indonesia University, Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta, Indonesia
ABSTRACT
Central venous catheters (CVCs) are essential for the management of some critically ill patients and those with limited vascular access to provide interventions and monitoring. The procedure is catheher was inserted into a venous great vessel that traditionally located in the subclavian vein, internal jugular vein, or femoral vein. Central venous access has several clinical indications, contraindications and complications that must be considered. Most central lines are placed today via the Seldinger technique, in which the chosen vein is cannulated with a needle, a guide wire is inserted to maintain a tract through the skin into the vein, and the catheter is then inserted over the wire into the vein before the wire is removed. This procedure is generally performed with ultrasound guidance to improve the safety of this procedure. Full sterile technique must be used to decrease catheter-related infections.
Keywords: central venous catheter, criticall ill patients, vascular access, venous great vessel
Arif Mansjoer1,2, Bambang Sutrisna3
1Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
2Unit Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
3Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Latar Belakang: Lama rawat intensif pasien pascabedah jantung yang memanjang mempengaruhi alur pasien bedah jantung berikutnya. Pengaturan pasien berdasarkan prediksi lama rawat diperlukan agar alur pasien menjadi lancar.
Tujuan: Membuat prediksi lama rawat intensif 48 jam berdasarkan nilai skor dari model yang
dimodifikasi dari faktor-faktor EuroSCORE.
Metode: Penelitian restrospektif dilakukan pada Januari 2012 – Desember 2013 pada 249 pasien yang menjalani bedah jantung di Unit Pelayanan Jantung RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta. Analisis survival dan regresi Cox dilakukan untuk membuat prediksi lama rawat intensif 48 jam.
Hasil: Pada subjek didapatkan median kesintasan lama rawat intensif adalah 43 jam. Model dari 7 variabel EuroSCORE dapat memprediksi lama rawat intensif 48 jam (AUC 0,67).
Kesimpulan: Model baru dari faktor EuroSCORE dapat memprediksi lama rawat intensif 48 jam.
Kata Kunci: lama rawat intensif, pascabedah jantung
EDITORIAL
Kebakaran hutan masih terjadi di beberapa daerah Indonesia setiap tahunnya, khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Apapun penyebabnya, kebakaran hutan akan menghasilkan asap yang berdampak pada berbagai sektor kehidupan seperti terganggunya aktivitas sehari hari, gangguan transportasi, kerusakan lingkungan, turunnya kunjungan wisatawan, ekonomi dan kesehatan. Asap kebakaran hutan terdiri atas campuran gas, uap air, partikel, bahan kimia organik dan trace mineral. Komposisi asap kebakaran hutan tergantung pada beberapa faktor seperti jenis hutan yang terbakar (lahan gambut atau kayu), suhu api, kadar air diudara ataupun kondisi angin.
Arto Y. Soeroto1, Prayudi Santoso1, Emmy H Pranggono1, Iceu D Kulsum1,
Hendarsyah Suryadinata1, Ferdy Ferdian1, Ade Yudisman1, Martina2,Rechta Antartika2, Zulkifli Amin3, C. Martin Rumende3, Ceva W. Pitoyo3, Eric D. Tenda3, Zen Akhmad4, Thomas Handoyo5, M. Ilyas6, Fauzar7, Bambang S. Riyanto8, Samsirun Halim9, Efata B. I. Polii10, Ananda W. Ginting11, Putu Andrika12, Price Maya13, Fajar Raditya14
1Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis Respirasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Unpad/RS Dr. Hasan Sadikin
Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI) cabang Bandung
2Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Unpad/RS Dr. Hasan Sadikin
3Divisi Pulmonologi dan Penyakit Kritis, Departemen Penyakit Dalam FKUI/RSCM
Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI) Cabang Jakarta
4Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI/RS Moh. Husein
Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI) Cabang Palembang
5Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/RS Kariadi
Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI) Cabang Semarang
6Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNHAS/RS Wahidin Sudirohusodo
Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI) Cabang Makassar
7Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNAND/RSUP Dr. Moh. Djamil
Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI) Cabang Padang
8Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UGM/RSUP Dr. Sardjito
Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI) Cabang Yogyakarta
9FKIK Univ Jambi /RSUD Raden Mattaher
Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI) Cabang Jambi
10Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRAT/RSU Prof Dr Kandou
Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI) Cabang Manado
11Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RS H. Adam Malik/Pirngadi
Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI) Cabang Medan
12Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah
Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI) Cabang Denpasar
13Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Unsyiah/RSUD Dr. Zainoel Abidin
Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI) Cabang Aceh
14Departemen Penyakit Dalam RS Imanuel Way Halim Bandar Lampung
Perhimpunan Respirologi Indonesia (PERPARI) Cabang Lampung
PENDAHULUAN
Virus corona adalah keluarga besar virus yang umum pada manusia dan hewan seperti unta, sapi, kucing, dan kelelawar. Terdapat 7 strain dari virus corona, yaitu 229E (alpha coronavirus), NL63 (alpha coronavirus), OC43 (beta coronavirus), HKU1 (beta coronavirus), MERS-CoV (beta coronavirus yang menyebabkan Middle East Respiratory Syndrome, atau MERS), SARS-CoV (beta coronavirus yang menyebabkan Severe Acute Respiratory Syndrome atau SARS) dan SARS-CoV-2 (COVID-19).1,2
Virus corona dari binatang dapat menginfeksi manusia dan menyebar diantara manusia melalui transmisi manusia ke manusia seperti MERS-CoV, SARS-CoV, dan terkini adalah COVID-19 (Coronavirus disease 2019). Virus penyebab COVID-19 dinamakan Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2).2
Kasus pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya teridentifikasi pertama kali di Wuhan ibukota provinsi Hubei pada awal bulan Desember tahun 2019.3 Pada tanggal 7 Januari 2020, Chinese Center for Disease Control and Prevention (CDC) mengidentifikasi suatu coronavirus baru yang diambil dari swab tenggorokan dari pasien dan kemudian dinamai 2019-nCov atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) oleh World Health Organization (WHO).3-5
Berdasarkan data dari WHO sampai tanggal 25 Mei 2020, kasus Covid-19 yang positif ada 5.304.772 kasus, dengan total kematian 342.029 pasien. Di Indonesia terdapat 22.271 kasus positif, dengan jumlah kematian 1.372 orang.6
Muhammad Fachrurozi Sidiq1, Hasrayati Agustina2, Iceu Dimas Kulsum3
1Program Studi Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
2Departemen/KSM Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
3Divisi Respirologi dan Respirasi Kritis Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
ABSTRAK
Latar Belakang: Efusi pleura adalah akumulasi abnormal cairan dalam rongga pleura yang disebabkan oleh adanya peningkatan laju pembentukan cairan pleura, penurunan drainase cairan oleh sistem limfatik, dan/atau keduanya. Efusi pleura dilaporkan menjadi masalah umum pada pasien yang terdapat di departemen ilmu penyakit dalam.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil klinis, gambaran makroskopis dan mikroskopis cairan efusi pleura pada pasien rawat inap di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2016 hingga Desember 2018.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan rancangan penelitian potong lintang (cross-sectional) dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medik. Sampel yang digunakan pada panelitian ini sebanyak 273 sampel rekam medis pasien yang dirawat inap di Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2016 – Desember 2018.
Hasil: Efusi pleura sebagian besar terjadi pada usia <60 tahun (78,39%), lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Keluhan utama tersering adalah sesak napas (81,68%) dan lokasi efusi pleura tersering di hemitoraks dekstra (55,68%). Diagnosis klinis terbanyak adalah keganasan (71,43%) terutama kanker paru pada laki-laki dan kanker ovarium pada perempuan. Warna cairan pleura terbanyak ditemukan adalah kuning kemerahan (34,43%) dan pada keganasan cenderung lebih banyak berwarna merah 71,79%. Sebagian besar (58,97%) efusi pleura merupakan eksudat. Hanya 25,64% pasien dengan diagnosis klinis keganasan yang ditemukan sel tumor ganas pada cairan pleuranya.
Simpulan: Efusi pleura paling banyak terjadi pada usia tua dan perempuan lebih banyak dibanding laki-laki dengan keluhan utama terbanyak adalah sesak napas. Cairan efusi eksudat berupa gambaran makroskopis warna merah pada cairan pleura lebih cenderung ditemukan pada keganasan. Profil klinis dan gambaran mikroskopis dapat menggambarkan kemungkinan adanya keganasan pada efusi pleura.
Kata kunci: Efusi pleura, makroskopis, mikroskopic, profil klinis