Hingga saat ini tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan yang mengemuka di dunia. Sebanyak 30% dari populasi dunia terinfeksi TB dengan sekitar 2 juta orang meninggal setiap tahunnya. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah kasus TB mulai menurun berkat peningkatan kesadaran masyarakat dan upaya-upaya pengendalian TB di bidang kesehatan masyarakat. Namun, dewasa ini TB menjadi perhatian kembali seiring peningkatan epidemi HIV di seluruh dunia. Di sisi lain, reaktivasi infeksi TB laten yang banyak terjadi pada kelompok sosioekonomi rendah merupakan sumber penularan infeksi TB yang baru. Dari sana terlihat bahwa sistem imun dan status sosioekonomi berperan penting dalam penularan TB. 1,2
Saat ini, TB resistan obat merupakan masalah kesehatan yang banyak dijumpai, terutama di daerah endemik TB. Resistansi terhadap obat antituberkulosis (OAT) terdiri dari 2 jenis, yaitu multi- drug resistant (MDR) dan extensive drug resistant (XDR). TB resistan obat disebut MDR jika mikobakteri resistan terhadap rifampisin dan isoniazid (dua obat TB lini pertama) atau XDR ketika mikobakteri yang resistan terhadap kedua obat tadi tidak merespons juga dengan fluorokuinolon dan minimal satu OAT lini kedua yang disuntikkan (misal amikasin, kanamisin, kapreomisin). World Health Organization (WHO) telah menetapkan MDR-TB dan XDR-TB sebagai salah satu tantangan utama dalam eradikasi TB.2,3