Fall and Rise Phenomenon pada Tuberkulosis Paru Poliresisten dengan Intoleransi Rifampisin: Sebuah Tantangan dalam Diagnostik dan Terapeutik
Nabila Nauli Asriputri1, Naufal Fauzan Ihsan2, Arto Yuwono Soeroto3
1Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
2Tuberculosis Working Group, Pusat Riset Pengelolaan dan Pengendalian Penyakit Infeksi (PRP3I) Universitas Padjadjaran
3Divisi Pulmonologi dan Respirasi Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
ABSTRAK
Latar Belakang: Penanganan tuberkulosis (TB) yang tidak tepat dapat menyebabkan fall and rise phenomenon, yaitu peningkatan kembali jumlah bakteri Mycobacterium tuberculosis (MTB) karena pengobatan tidak adekuat yang meningkatkan kemungkinan kekambuhan dan kekebalan obat. Penanganan semakin sulit dengan adanya intoleransi terhadap rifampisin.
Laporan Kasus: Seorang wanita 43 tahun dengan riwayat pengobatan TB paru berulang dirujuk ke RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung karena diduga mengalami TB resisten obat (TB-RO). Pasien mempunyai riwayat pengobatan TB sejak tahun 2009 – 2022, namun keluhan terus berulang dan semakin memberat. Pemilihan regimen OAT menjadi semakin sulit karena adanya riwayat intoleransi terhadap rifampisin. Uji kepekaan obat fenotipik dan genotipik menunjukkan adanya resistensi isoniazid, ethambutol, pirazinamid, serta fluorokuinolon. Pengobatan TB diputuskan menggunakan regimen individual karena adanya poliresistensi.
Diskusi: TB poliresisten merupakan kondisi dimana seseorang mengalami resistensi terhadap lebih dari satu OAT lini pertama selain isoniazid dan rifampisin secara bersamaan. Kondisi ini dapat dilatarbelakangi terjadinya fall and rise phenomenon, dimana pengobatan TB yang tidak adekuat dapat menurunkan jumlah kuman MTB di awal, namun organisme yang bertahan dapat berproliferasi dan bermutasi, sehingga meningkatkan risiko kekambuhan dan resistensi. Deteksi TB-RO dilakukan dengan uji kepekaan obat fenotipik dan genotipik. Akan tetapi, akses pemeriksaan ini masih terbatas sehingga diagnosis TB-RO masih menjadi tantangan. Penentuan regimen dipersulit dengan intoleransi rifampisin. Pada kasus ini, tatalaksana dengan regimen individual TB multi drug resistant (TB-MDR) dapat menjadi pilihan
Kesimpulan: Anamnesis dan pemeriksaan fisik mendetail, serta akses pemeriksaan penunjang berperan penting pada diagnosis TB, terutama pada kasus kekambuhan berulang. Pemberian regimen pengobatan yang sesuai dengan panduan dapat mencegah terjadinya kegagalan dan resistensi.
Kata Kunci: tuberkulosis, poliresisten, intoleransi, rifampisin
ABSTRACT
Introduction: Inadequate treatment of tuberculosis (TB) can result in a rise in the number of Mycobacterium tuberculosis (MTB) bacteria, increasing the risk of recurrence and drug resistance. This phenomenon is known as the fall and rise phenomenon. Rifampicin intolerance makes treatment more challenging.
Case Presentation: A 43-year-old woman with a history of recurrent treatment for TB was referred to Dr. Hasan Sadikin Bandung because of drug-resistant TB (DR-TB) suspected. Despite receiving TB therapy from 2009 to 2022, the patient's problems continue to persist and worsen. A history of rifampicin intolerance makes selecting an OAT regimen more challenging. Phenotypic and genotypic drug sensitivity tests showed resistance to isoniazid, ethambutol, pyrazinamide, and fluoroquinolones. Treatment of TB was decided with individualized regimen due to polyresistance.
Discussion: Polyresistant TB defined as a condition in which a person develops concurrent resistance to more than one first-line medication other than isoniazid and rifampin. This condition may be caused by the fall and rise phenomenon, wherein insufficient TB therapy may initially result in a reduction in the number of MTB germs, but the surviving organisms may then multiply and undergo mutations, raising the chance of recurrence and resistance. Phenotypic and genotypic drug sensitivity testing were used to detect DR-TB. However, since the access to this examination is still limited, the diagnosis of DR-TB is still difficult. Rifampicin intolerance makes choosing a therapy regimen more challenging. In this case, treatment with an individual regimen of multi-drug resistant TB (MDR-TB) may be an option.
Conclusion: Detailed history and physical examination, as well as access to supporting examinations play important roles in the diagnosis of TB, particularly in cases of repeated recurrence. Providing a treatment regimen that is in accordance with the guidelines can prevent failure and resistance.
Keywords: tuberculosis, polyresistant, intolerance, rifampicin