Hendra Koncoro1, Ida B Suta2
1Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
2Divisi Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
Penyakit infeksi paru hingga saat ini masih merupakan penyakit yang paling sering dijumpai pada manusia dan penyebab kematian terbanyak setelah penyakit jantung koroner.1 Sekitar 75% penggunaan antibiotik ditujukan untuk infeksi paru yang disebabkan oleh bakteri. Akan tetapi, sebagian besar kasus infeksi ternyata disebabkan oleh virus. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat ini merupakan penyebab utama munculnya resistensi antibiotik. Semakin maraknya kasus pemakaian antibiotik yang tidak tepat merupakan masalah yang belum teratasi hingga kini.2
Diferensiasi penyebab infeksi paru menjadi sangat penting guna membatasi penggunaan antibiotik yang tidak bertanggung jawab. Beberapa tes laboratorium dapat mengetahui adanya infeksi seperti hitung leukosit, laju endap darah, C-reactive protein (CRP), tumor necrosis factor, dan interleukin 1 (IL-1) dan IL-6. Namun, berbagai tes tersebut bersifat tidak spesifik sehingga etiologi infeksi paru sulit sekali ditentukan dalam waktu cepat. Diagnosis pasti harus menunggu hasil kultur darah selama beberapa hari. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu penanda spesifik yang mampu mendeteksi infeksi bakteri dengan cepat.3,4
Prokalsitonin (PCT) merupakan suatu biomarker yang lebih spesifik terhadap infeksi bakteri dan dapat dideteksi lebih awal dibandingkan gejala atau tanda infeksi lain, seperti demam, perubahan hitung leukosit, atau kultur darah. Biomarker ini terdiri dari 116 asam amino yang meningkat produksinya pada infeksi bakteri dan beberapa jenis keganasan.5,6 Tulisan ini memberikan gambaran mengenai produksi dan biologi PCT, faktor mempengaruhi kadar PCT, hubungan PCT dengn derajat keparahan infeksi, perbandingan PCT dengan biomarker lain, serta aplikasi PCT dalam kasus pulmonologi.